Cerbungku: Riri's Boyfriend [part 2]


Cerita Sebelumnya:
Kemudian Rivan berbalik, memandang Riko yang tadi mengolok-olokku sambil membawa surat-surat cintaku. Riko yang tadi ketawa ngakak bareng orang-orang yang mengerumuni kami, tiba-tiba terdiam sambil melongo ketika tiba-tiba Rivan kembali mengambil kertas-kertasku dari tangannya, dan lagi-lagi dengan tegasnya ia berkata "Surat ini emang dari cewek gue, dan buat gue. Jadi lo nggak perlu ngebuka privasinya sejauh itu. Kalo lo sirik ada cewek yang bikinin surat buat gue, mending lo bilang aja.."


Apakah saat itu aku bahkan dibiarkan merasa bahwa Rivan lebih memilihku daripada sahabat baiknya??

next story >>>>>>>>>>
Aku terus berjalan mengikuti punggung Rivan yang bidang dan tubuhnya yang tinggi tanpa bicara sepatah katapun. Perasaanku berkecamuk. Antara bingung, senang, dan canggung. Ya Ampuuun.. selama beberapa tahun baru sekali ini coba aku itu punya kesempatan bisa bicara walaupun hanya sepatah dua patah dengannya. Dan saat ini dia sendiri yang mengajakku untuk mengikutinya, walaupun entahlah.. aku akan di bawa kemana ...

"Mmm..."

Rivan berbalik tepat ketika kami sampai di taman belakang sekolah. Dan ... deg, melihat wajahnya yang tak ada dua meter denganku itu sungguh membuat jantungku berdetak tak beraturan .. aku selalu bertanya-tanya, darimana sih wajah tampannya itu?? fuuh ..

"Maaf ya buat yang barusan tadi..." Ia berkata sambil menggaruk kepalanya yang kelihatannya tak gatal ..

"Hah??" Sial.. aku jadi tak mengerti kemana arah pembicaraannya..
"
Ya..." ia masih terlihat malu.. "Yaa.. soal yang tadi itu.."

Aku terdiam. Soal yang tadi?? yang mana?? yang aku tabrakan sama temannya? yang suratku jatuh berhamburan? yang temannya berkoar-koar bacain surat surat cintaku? tentang Rivan yang ikutan baca surat cintaku? atau tentang rivan yang membelaku dan berkata bahwa aku....
aaahh.. kalo yang setelahnya itu pasti mimpi.. aku yakin.

"O..ohh.." aku berusaha menjawab walaupun aku yakin saat itu terlihat gugup "itu..." masih berfikir mau ngomong apa "Mmm.. justru aku yang minta maaf .. sial banget sih gara-gara surat-suratku itu kamu malah dipermalukan.." Aku menunduk, sedih. Mengingat kejadian tadi itu amat sangat memalukan, dan dia sendiri pasti lebih malu mergokin cewek biasa kayak aku yang berani-beraninya ngirim surat cinta.. "Maaf.." ucapku akhirnya.

Kemudian diam beberapa saat dan aku masih saja menunduk. Haloooo~ kok nggak ada suara yaa? apa dia sadar kalo aku itu nggak pantas diajak bicara, dan setelah ingat tadi habis dipermalukan dia akan pergi dariku?

Aku mencoba mendongan, penasaran melihat reaksinya..

Astaga...

Aku kembali menunduk, dan yakin seratus persen mukaku merah semerah tomat..
Tadi itu dia masih tersenyum di depanku kaah ?? atau halusinasi? entah...
Tak lama setelahnya, barulah aku mendengar kembali suaranya. Tawa yang ringan..

"Haha.. kenapa aku harus malu? aku udah pernah nerima ribuan surat dari ratusan cewek..." jelas Rivan di tengah tawanya. Sial. Kenapa dia malah sombong? Tapi bener juga sih.. mana mungkin dia nggak pernah dapat surat.. bodoh, aku yang terlalu paranoid.

Rivan melanjutkan. "Aku minta maaf.. gara-gara temenku tadi.. kamu pasti malu banget kan??"
"Ya jelas dong!" sambarku cepat  "Enak banget sih dia nabrak-nabrak orang sampe barang bawaannya itu jatuh..!! udah gitu bukannya minta maaf eeeeh malah bacain tuh surat di depan banyak orang." Bagus. Rasanya lebih lega kalau bisa meluapkan emosi seperti ini..

"Lho? Emang waktu itu kamu mau kemana..?"

"Ngikutin Rivan.... ah!" Langsung saja kubungkam tanganku dengan kedua tanganku waktu sadar kalau subyek pembicaraanku itu ada tepat di depanku. Aaaah.. bodoh-bodoh-bodoooh.. Aku langsung berbalik membelakanginya. Sumpah, aku sudah nggak mau lihat ekspresinya.. pasti sedang tertawa... Pergi aja deh..
Dan hampir saja mencapai langkah kedua, eh.. si Rivan balik manggil dari belakang

"Hei..." panggilnya. Tapi aku tetap bergeming dan tak berbalik.. Tapi jelas kupasang telingaku baik-baik,,

"Untuk kata-kataku yang terakhir tadi... mm.. kamu nggak keberatan kan? maksudku, setidaknya sebagai ucapan maafku biar kamu nggak dipermalukan gara-gara namaku walaupun ulah temanku.. yaa.. "

"Makasih," potongku cepat "Makasih ..." dan hanya itu yang bisa kukatakan padanya, tidak yang lain, saking bingungnya aku mau ngomong apa.. Bahkan mungkin saja aku menangis saking senengnya..

"Yaa.. walaupun aku baru kenal sama kamu.. dan temen-temen jadi tau status barumu, mungkin. Setidaknya kamu mau kan kita temenan??"

Aku mengangguk -tetap tanpa berbalik-

"Oya.. siapa namamu?"

"Riri.." jawabku singkat..

Kemudian hening. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. "Oke Riri.. sampai ketemu lagi..."
Dan setelah itu yang kudengar hanyalah langkah kakinya semakin menjauh. Baru ketika langkahnya tak lagi terdengar, aku langsung duduk lemas di atas kursi taman sambil tersenyum... Kyyaaaa... dia bilang mau ketemu lagiiii?? Wajahku semakin bersemu merah.
Sungguh diluar dugaanku...

***

Perjalananku menuju kelas bisa di bilang selamat, bisa juga bisa dibilang tidak. Selamat karena akhirnya aku memang sampai di depan kelas, dengan wajah merah entah karena malu atau saking senangnya. Dan tidak selamat karena hampir seluruh penjuru kelas tau kalau rivan baru saja membuat satu insiden -dan aku lupa-. Semuanya memandangiku, jelas dari ujung kepala sampai ujung kakiku (?). Dan terutama yang cewek... Tatapan menghina, tatapan menyindir, tatapan... aaargh.. pokoknya itu tatapan yang aneh, dan kalau aku boleh jujur, itu modal tatapan yang sangat, sangat menyakitkan. Tapi entahlah, mungkin karena aku masih cukup berbunga-bunga karena aku baru saja melakukan percakapan yang kupikir adalah percakapan panjangku dengannya selama beberapa hari. Well, aku sama sekali jadi tak peduli semua kata orang. Mungkin benar ya, cinta bisa membuat orang buta.
Dan, sesampainya di depan kelas.. aku hampir saja terjungkal ketika tiba-tiba mendapat pelukan dari ketiga sahabatku.

"Ririiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii." Alia, sahabatku sejak smp (yang jelas tau kalau selama  ini aku menyukai Rivan diam-diam) "Gilaaaakk.. lo habis ngapain tadi heeh??"

"Mimpi apa lo semalem, Riii?" Ela ikut ikut menghantamku dengan tubuhnya yang bongsor..

"Sahabat kita keren juga nih.." Lala yang punya sifat cool dan keren ikut berkomentar..

Aku memegang kedua pipiku yang masih terasa panas.. "Nggak tauuukk.. aku nggak tauu.." Aku memejamkan mata sebentar, dan kemudian membukanya dengan cepat "Alia, Ela, Lala... tolong deh cubit aku. Mungkin aja aku cuma.... Aaaaaawww"

Alia berhasil menyelesaikan misinya mencubitku bahkan sebelum aku selesai menyuruhnya... "Alia maaah sakiiittttt," rengekku..

"Tuh kan .. lo nggak mimpi tauuk!"

Dan aku kembali tersenyum.. Lagi-lagi mukaku kembali merah. Sungguhkah?? sungguhkah aku sedang tidak bermimpi?

"Sssttt..." tiba tiba Ela menyenggolku "Pangeran lo, Ri..."

Dengan cepat kuputar kepalaku 180 derajat mengikuti mata Ela, dan benar. Aku melihat Rivan dan teman-temannya sedang berjalan ke arahku. Ya ampuuun.. padahal baru saja kami bertemu, tapi kenapa rasanya sudah begitu ingin melihatnya lagi ya?? aku tak bisa berhenti tersenyum.

Sayangnya Rivan sedang tidak menatapku dan masih asyik berbincang bersama temannya, sedangkan aku masih tak bisa melepaskan pandanganku dari wajahnya.. Sampai akhirnya ia mendekati kelasku, dan barulah matanya menatapku..

Aku mencoba tersenyum padanya, dan siapa sangka dia berhenti di depan kelasku... Dan aku menangkap dua temannya yang lain melirik dan bahkan lebih tepatnya menilaiku. Entah apa yang mereka lihat, tapi aku cukup tak memperdulikannya.

Dan sialnya.. aku benar-benar tak tahu harus bicara apa padanya..
"Hai..." sapanya duluan..
"Ha.. hai...." balasku "Mmm.. mau kemana, Van?" tanyaku mencoba akrab..
Ia memandang kedua temannya sebelum kembali menatapku "Mau ke lab IPA sih.. mau ikut?"
Aku mengerjap, dan kemudian sadar kalau Rivan dan temannya sedang membawa buku.. Benar, sekarang kan sudah bel masuk . Riri bodoh.. umpatku dalam hati..

 "Oh... yaudah.. selamat pratikum yaa.. hehe.. aku juga ada pelajaran habis ini.. aku masuk dulu yaa.." pamitku canggung dan setelah melihat anggukan serta senyuman Rivan, langsung saja aku masuk ke dalam kelas dan duduk di atas kursiku. Entahlah, rasanya ada yang terbakar di salah satu organ tubuhku. Dan, rasanya setelah ini akan ada yang berubah. Aku tak tahu apa.. Ya.. saat itu aku benar-benar tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini..

Apakah sesuatu yang baik? atau mungkin buruk?

Salam, ADLN_haezh

Komentar