Film Romantis Emosional: Love, Rosie



Belakangan ini entah kenapa aku lagi suka banget nonton film yang di adaptasi dari novel. Sebenernya aku lagi suka baca novel, *iya, dari berbulan2 yang lalu* dan lagi agak males nonton film, tapiiiii... ehm. Kemarin nggak tau kenapa pingin banget nonton the 5th wave kan ya, dan itu karena aku lihat bukunya booming banget di Goodreads, so, I watched the movie and I love it!

Karena dari novel, jadi ketika nonton aku juga sambil bayangin ini penulisnya berarti gambarin karakternya begini, bikin alurnya begini, dan karena waktu itu dystopia genrenya jadi emang yakin nggak bakal aku baca novelnya dan aku udah cukup puas sama filmnya. Tapi karena itu juga kayaknya aku jadi kerajingan cari film-film yang diadaptasi dari buku. Habis nonton itu aku nonton film serialnya Divergent, dan aku suka lagi. Habis itu serialnya Hunger Games, dan aku juga suka lagi. Semakin sering aku nonton film-film yang diadaptasi dari buku aku jadi tambah well, bisa dibilang kagum karena visualnya bener-bener bikin aku ngerasa kayak nggak perlu baca bukunya lagi. Aku dapet semua pesan yang ingin disampaikan walaupun bisa jadi nggak sejelas novelnya.

Dan sekarang, aku nonton film adaptasi juga, tapi genrenya insta-love, chicklit gitu. Dan biasanya kalo genre ini aku baca bukunya aja nggak nonton filmnya soalnya vocabnya aku pasti bisa paham sih kalo nuansanya romance gitu. Anyway, karena aku dapet film ini waktu lagi nyari-nyari buku yang diadaptasi ke film tahun 2014 dan waktu baca blurbnya kayaknya bagus, so, I decided to watch it.




Film romance yang pernah aku tonton dan merupakan adaptasi ada beberapa, tapi sejujurnya aku nggak begitu suka. Nggak tau kenapa. Cuma kayaknya waktu nonton ini aku jadi nggak cuma nonton secara subjektif doang, ada pertimbangan lain yang ikut kusertakan ketika menonton film ini. Pertama, novelnya sendiri pasti tebel dan ada banyak bagian yang harus dipangkas. Kedua, bisa jadi filmnya jauh lebih ringan dari novelnya. Ketiga, kalo sampe bukunya dijadiin novel jelas karena punya x factor yang bikin ceritanya menarik untuk ditonton. Jadi, kalo aku nggak mempertimbangkan poin-poin tersebut, bisa jadi film ini jatuhnya membosankan dan cliche, tapi aku waktu nonton jadi mikirin novelnya. Maksudnya, ketika aku nonton film ini, ada banyak masalah yang diangkat dan berusaha disampaikan sepadet mungkin. Waktu aku bayangin film ini dalam bentuk bacaan, aku yakin semuanya akan dalam bentuk dialog, ekspresi dan emosinya pasti lebih terjabarkan. Dan waktu aku nonton terus sambil bayangin kira-kira kayak apa novelnya, aku akuhirnya berkesimpulan kalau novel ini kayaknya punya point-point yang bakal bisa bikin pembacanya nangis. Bukan penontonnya ya, tapi pembacanya. Ada poin2 emosi yang disampaikan dan cukup kuat secara visual, jadi aku yakin dalam bentuk tulisan emosinya pasti jauh lebih kuat. And well, dalam bentuk buku, aku nggak yakin bakal bisa dan mau baca bukunya. Ada beberapa poin dari cerita ini yang kuhindari untuk kujadikan referensi bacanya: adanya orang ketiga (disini ada suami si heroin, dan ada istri si hero, padahal dua tokoh utama ini adalah teman masa kecil dan ditujukan untuk menjadi pasangan). Kalo endingnya berakhir sama, dan aku baca novelnya, kayaknya aku bakal teriak2. "Yaelaaaaah segitu aja? Buset kurang panjaaang. 12 tahun nggak cerita perasaan masing-masing,waktu terbuang sia-sia karena saking bebalnya,dan waktu udah bersatu cuma segitu doaaang!!!" Iya. kayaknya aku nggak mampu baca yang begitu. Prosesnya panjang, endingnya dikit. Not my reading time banget lah.

Jadi, walaupun aku penasaran, aku jadi nonton filmnya aja, jadi cuma 1,5 jam lah nggak sampe yang 12 jam seharian, atau 2 hari. Well, nantinya terlalu banyak perasaan yang terpaksa harus ditahan dan makin gede keselnya kali ya.

Love, Rosie. At least, aku suka filmnya. Ada beberapa turning point yang sering banget bikin aku bersyukur aku belum baca novelnya, karena, well, ini film, lebih ringan lebih sedikit emosi yang dimunculkan di ekspresi dan lebih sedikit dialog, lebih minim deskripsi. Sedangkan rasanya aku agak yakin kalo dalam novelnya pasti bikin depresi. Trus, film ini banyak dikasih bumbu humornya, dari musiknya, dan ritme filmnya yang lumayan cepat, jadi yaaah film ini terbilang ringan meskipun ada beberapa issue yang cukup berat untuk dibahas. Sedangkan kalo baca, hening, dan panjang, dan ceritanya bakalan jadi jauh lebih berat *kali ya, karena aku nggak baca bukunya*. 


Dan ceritanya, ya ampuuuunnn!!!!
Biar aku kasih rincian singkat. Cerita film ini, ugh, cuma gara-gara kesalahpahaman, dan gengsi yang menurutku so stupid! *iya, ini konflik yang paling kubenci*. Bener aja, cuma karena satu keputusan, efeknya sampe katakanlah, 10 atau 12 tahun kemudian! W-O-W!!! Yang bener ajaaa!!!


Jadi Rosie dan Alex ini adalah teman masa kecil, dan ketika beranjak dewasa sebenernya mereka itu udah saling suka!! sejak first kiss mereka , sebenernya tuh si Alex ini mau ngajak Rosie kencan! Ya ampun tapi karena si Rosie lupa dan nggak inget karena mabuk, dan Alex pake acara mancing-mancing segala, semuanya berantakan. Akhirnya Alex nggak pernah asked her for date anymore. And they just... well, kind of  friend who tried to support each other! so stubborn! stupid! Pingin pukul Alex serius deh! Maksudnya, dia cowok, dan dia nggak mau ngomong perasaan sebenarnya sama Rosie, nunggu clue dari Rosie, sedangkan Rosie juga ngarep tapi juga nunggu clue dari Alex. Sayangnya, harapan mereka tidak terkabul until it's too late. Yup, ceritanya begitu, karena memang itu juga konflik utamanya hahahha

Film ini bikin aku kesel, gemes, tapi juga aku suka sama karakter Rosie yang tegar dan kuat. Dia ngurusin anaknya sendirian sampe besar, dan walaupun ada momen si Alex mau jadi wali, tapi Alex bodoh banget pokoknya, bikin kesalahan berulang-ulang. Sedangkan Rosie berhasil lebih dewasa dengan pengalamannya mengurus anaknya yang btw, lucu banget. Tapi karena film ini juga sih, aku dibikin menitikkan air mata dua kali. Jadi, walaupun kesal, tapi film ini emosinya dapat. Ceritanya bukan cerita romantis yang kita harap-harapkan karena genrenya ya. Malah nggak terlalu banyak kisah romantisnya, yah, lagian itu juga alasan kenapa bukunya difilmkan, karena banyak konflik sensitif dan nyebelin yang jauh lebih penting untuk diangkat. Tapi akhirnya sweet banget, mereka akhirnya sadar, walaupun udah terlambat banget. Ugh, seriously!?

Iya, sekali lagi. kayaknya kalo novelnya nggak yakin aku bakalan bisa baca. Secara mereka ini kayaknya lebih banyak salah paham dan nggak ketemuan. Trus juga, untung kalo di film pasangan mereka itu nyebelin jadi nggak terlalu terganggu, kadang malah lucu. Malah aku lebih kesel sama si pemeran utamanya, si Alex, sendiri daripada sama pemeran pembantunya. Agak seneng waktu si Greg itu balikan sama Rosie secara Rosie habis sakit hati banget sama Alex *iya aku juga sebel banget, kasihan banget deh si Rosie* dan anaknya akhirnya balik juga sama ayahnya. Tapi juga ternyata emang ya, aku juga kasihan banget sama Alex di hari pernikahanan Greg sama Rosie dan Rosie jadi kepikiran sama Alex, well, itu sedih.


Oya, yang paling membekas dari film ini adalah pesannya. Aku jarang sebenernya nonton film dan dapat pesan khusus setelah nonton, tapi film ini memberikan hal tersebut. Pertama, bahwa kita seharusnya tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada di depan kita, atau nantinya kita akan menyesal untuk waktu yang sudah terbuang sia-sia. Kedua, kadang ada hal-hal baik yang bikin kita lupa dengan mimpi kita, tapi sebisa mungkin mimpi itu harus tetap dijaga dan dikejar. Satu lagi, aku betah nonton film ini karena castsnya sendiri eye catching. Good choice!

Yup. Jadi kesimpulannya, karena udah ngaduk-ngaduk emosiku, aku suka film ini. Bagus, dan rekomended untuk kalian yang pingin tontonan yang real dan bikin emosi. :D


8/10 


Salam, ADLN_haezh

Komentar