Finally, it's my turn...

Kemaren aku dah mikir. apapun hasil yang kuterima, yang pasti aku sudah melakukan yang terbaik selama tes. Aku udah keluar paling akhir, dan mencoba tenang ketika wawancara. Berusaha optimis itu pasti, mengingat kata-kata yang dikatakan dosennya adalah 'semoga diterima disini yaa...'. Tapi yaaah.. namanya juga Lina, segala tanda pasti di abaikan kalau hasilnya belum keluar. Segala firasat baik pasti dilempar jauh-jauh agar aku siap untuk jatuh kalau hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Kemudian, aku berusaha menghibur diri, karena dengan begitu aku bisa membuang harapan yang melambung tinggi untuk bisa di terima.


Aku ingat, ketika aku pulang dari tes dan yang kupikirkan adalah... "Gagal itu wajar, nggak ada yang nyalahin kalau kamu gagal, tuh ini baru sekalinya kamu nyoba ikut tes masuk perguruan tinggi." kemudian di sambut dengan pikiran menyesal lain seperti "Aku ingin melakukan segalanya diusiaku yang masih muda. Kenapa aku tidak mencoba dari tahun lalu? Kenapa baru tahun ini? Yap. Karena aku nggak pernah mau ngaku kalau aku takut gagal. Dan kalau tahun ini aku gagal, itu artinya aku harus mencari rencana B atau aku kembali tahun depan di usiaku yang ke sembilan belas." Aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak membuat orang-orang di sekitarku memiliki ekspektasi tinggi tentang diriku, walaupun aku berharap mereka mendoakanku, entah kenapa aku tidak ingin mereka tahu. Ketakutan itu muncul kembali, ketika aku tidak ingin mereka kecewa padaku karena aku gagal. Padahal, seharusnya aku tidak takut akan kemungkinan tersebut. Waah.. ternyata aku begitu lemah. Aku begitu takut gagal, sebesar apapun aku berkata bahwa gagal itu merupakan proses. Kupikir itu naluri manusia.

Beberapa orang berharap bahwa ia bisa menyampaikan hal yang baik ke orang sekitarya. sambil berfikir bahwa ia ingin orang lain bangga padanya. Termasuk aku. Kupikir akan lebih baik kalau mereka tidak berfikir terlalu berlebihan tentangku ketika aku sendiri belum tahu apakah aku pantas mendapatkannya.
Aku pernah mengalami keduanya. Ketika orang lain tidak tahu, dan mereka baru tahu di akhir bahwa aku mendapat prestasi. Yang lainnya adalah membiarkan mereka menilaiku tinggi-tinggi, kemudian aku gagal.
Rasa sendihnya itu muncul di kasus kedua. Ketika mereka bersorak bersama mendukungku, dan aku gagal. Seperti beban berat yang terus menempel di pundakku, berat, dan kadang menyakitkan. Sejak itu aku mulai berfikir, bahwa apapun yang kulakukan, selama aku belum berhasil, aku tidak bisa membiarkan orang lain mengetahuinya. Kegagalan itupun belum bisa diceritakan sebelum aku berhasil. Baru ketika apa yang kuharapkan tercapai aku bisa dengan senang menceritakan segala hal yang menyedihkan itu.



Emm... waktu aku memutuskan untuk masuk ISI, aku pikir aku tidak akan membiarkan siapapun tahu tentang kabar tersebut. Aku ingin melangkah sendiri dan merasakan hasilnya sendiri, sebelum kusebarkan ke orang lain. Tapi apa daya, kali ini aku tidak bisa mencegahnya. Sebungkam apapun aku, orang-orang disekitarku satu per satu menanyakan rencanaku ini. Aku hanya bisa meminta mereka mendoakanku, dan mereka tersenyum senang seolah-olah aku telah diterima.

"Wow.. trus gimana reaksi mereka kalau ternyata aku gagal?"

Jadi aku tetap menutup diri membicarakan hal tersebut.
Yah.. tanggal 13 kemaren emang nggak nyangka. Aku keterima, walaupun belum resmi sih, tapi namaku ada di deretan calon mahasiswa yang diterima. Dan aku merasa hampir menangis. Rasanya seperti aku memenangkan sebuah lomba, dan aku tidak perlu mengulangnya tahun depan. 

Ada banyak hal yang aku ingin ungkapkan. Seperti, apakah aku pantas?
Ketika aku belum menerima pengumuman, yang ada di benakku hanyalah pasrah. Aku ingin berdoa lebih keras, tapi aku tidak bisa melakukannya seperti bayanganku. Aku berdoa seadanya, sebisanya, dan semampuku. Kemudian aku hanya berfikir bahwa apapun hasilnya, Allah lah yang menentukan jalanku. Apapun hasilnya, itulah jawaban mengenai 'apakah aku pantas?'. Aku berharap pilihanku kali ini adalah tulus dari dasar hatiku, karena aku memang ingin belajar Televisi. Bukan karena faktor universitasnya, bukan karena faktor uangnya, tetapi karena aku pantas dan aku mampu, dan aku akan bertahan disini. Aku ini mudah di provokasi, karena itu aku sangat takut kalau aku memang sudah terprovokasi. Tapi doaku sampai kemarin adalah, kalau aku memilih jurusan ini karena terprovokasi, alangkah lebih baik kalau aku tidak diterima. Sebaliknya, kalau aku diterima, itu artinya ini adalah apa yang aku inginkan. Jadi, ketika aku mendapatkan jawabannya, aku hanya tinggal berfikir bahwa 'inilah masa depanku'. semoga aku berhasil, semoga ini jalanku, dan semoga inilah jalan menuju mimpi-mimpiku.

Mimpiku berubah seiring berjalannya waktu, dan aku sendiri tidak menyadarinya.
Betapa.. betapa indah rencana Tuhan. Aku penasaran apa yang bisa kuraih setelah ini. Semoga segalanya akan jauh lebih menyenangkan, dan segala kesusahan bisa aku atasi. Amin.

Yang pasti, kemarin adalah sejarah untukku. Orang tua, teman-temanku, Allah... aku hanya bisa berfikir bahwa ini sunggu keberuntungan. Terimakasih. Terimakasih aku telah diberi kesempatan untuk bisa kuliah tahun ini seperti rencana awalku. Terimakasih, karena akhirnya aku bisa merasakan bagaimana rasanya diterima dipilihan pertama. That's really amazing feeling. I just cannot describe it.





Komentar